Plagiarisme dalam Perspektif Etika dan Hukum
Penyusun :
Zaidan N.R
Plagiarisme dalam Perspektif Etika dan Hukum
Pada plagiarisme masuk dalam jenis dari tindak pidana hak cipta, atau apabila yang diplagiasi merupakan original creative expression, plagiator dianggap melanggar UU Hak Cipta. Ditambahkan oleh Henry Soelistyo bahwa pelanggaran hak cipta terjadi bila ciptaan yang diplagiat merupakan karya yang dilindungi hak cipta.
Sebaliknya, apabila karya yang diplagiat merupakan ciptaan public domain, plagiarisme yang dilakukan itu bukan merupakan tindakan pelanggaran hak cipta.
Lagi, apabila plagiator mendasarkan keuntungan ekonomi dari tindakan plagiasinya, ia dapat digugat ganti rugi secara perdata dan diancam dengan sanksi membayar ganti rugi (vide Pasal 1365 KUH Perdata).
Sementara itu, tipikor merupakan tindak pidana tersendiri yang unsur pokoknya secara melawan hukum melakukan tindak pidana memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; merugikan perekonomian negara (vide Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, atau dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (vide Pasal 3 UU Tipikor).
Akan tetapi, dalam penanganan perkara tersebut dapat selalu berkaitan dan berpengaruh satu sama lainnya.
Ketiga rumpun dimaksud berjalannya tidak sejalan, satu sama lain dan berdiri sendiri, tetapi dalam aplikasi dapat saling terkait dan berpengaruh.
Tulisan ini menguraikan segala sesuatu tentang plagiarisme, khususnya yang terkait dengan pembajakan karya tulis seseorang, penguraian tentang ruang lingkup plagiarisme, pencegahan, penggunaan etika, penegakan hukum terkait dengan hak cipta dan sanksi bagi plagiator.
Perkembangan keadaan yang terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi setiap harinya kian berubah, bertambah dan berkembang dengan pesat, tidak terkecuali termasuk informasi dan telekomunikasi.
Pemanfaatan kemajuan pengetahuan tersebut, apabila tidak diimbangi dengan berbagai upaya pencegahan, penegakan etika atau penegakan hukum HAKI, antara lain dengan mempersiapkan sumber daya manusia yang berintegritas, jujur, tanggung jawab, adil, sikap menghindari perbuatan tidak terpuji juga diperlukan sikap kehati-hatian dengan tidak menyimpang dari ketentuan perundang-undangan.
Asal kata plagiarisme adalah plagiat.
Artinya, melakukan penjiplakan atau peniruan atau pengambilan pendapat, karangan milik pihak lain atau orang lain tanpa seizin pemilik yang sah, dengan maksud seolah-olah sebagai hasil pendapat atau karangannya sendiri.
Plagiat bahasa latinnya plagiarus artinya penculik (kidnapper).
Mengutip pendapat Fred Muller dalam kamusnya Beknopt Latyns Nederlands Woordenboek, halaman 75, mengartikan orang yang melakukan plagiat sebagai plagiarus yang berarti mensenrover atau perampok manusia atau zielverkoper atau penjual nyawa manusia.
Fockema Andreae dalam bukunya Rechtgeleerd Handwoordenboek memberikan pengertian kata plagiat sebagai letterdievery yang diartikan sebagai pencurian karya tulis atau pencurian suatu ciptaan karya tulis dilindungi hukum hak cipta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan plagiat yaitu pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri. Sedangkan plagiator, orang yang mengambil karangan (pendapat dsb) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat dsb) sendiri.
Pembajakan ialah penggandaan ciptaan dan/atau produk terkait secara tidak langsung dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi (Pasal 1 butir 23 UU Nomor 28 Tahun 2014).
Penggunaan secara konvensional adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar (pasal 1 butir 24 UU Nomor 28 Tahun 2014).
Untuk mencegah terjadinya tindak pidana hak cipta dan hak terkait berupa plagiasi atau pembajakan melalui sarana berbasis teknologi informasi, pemerintah berwenang; melakukan pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri dalam pencegahan pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta dan hak terkait (vide Pasal 54 UU Nomor 28 Tahun 2014).
Tindak pidana sebagaimana dimaksud oleh UU Hak Cipta yang baru merupakan delik aduan (klachtdelict); artinya aparat penegak hukum baru bisa bertindak untuk menegakan hukum hak cipta atas tindak pidana pembajakan atau plagiat yang dilakukan oleh pelaku, setelah adanya laporan atau pengaduan dari pemilik hak cipta atau pemegang hak cipta atau dari orang yang dirugikan (Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014).
Plagiarisme Pelanggaran Hak Cipta
Plagiarisme seringkali dikonotasikan hanya sebagai pelanggaran etika, bukan sebagai perbuatan melawan hukum. Bagi komunitas hukum, perbuatan melawan hukum dapat dikategorikan ke dalam beberapa macam. Dalam konteks ini, perbuatan melawan hukum pidana (wederrechtelijkheid) adalah yang paling relevan untuk dikaitkan. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sudah mengaturnya secara jelas.
Menurut undang-undang ini, hak cipta (copy right) adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak eksklusif merupakan hak yang hanya diperuntukkan bagi si pencipta atau penerima hak cipta itu. Apabila ada orang lain yang ingin memanfaatkan ciptaan tadi, orang ini harus mendapat izin terlebih dulu dari pencipta atau penerima hak cipta tadi.
Hak cipta adalah salah satu hak kekayaan intelektual (intellectual property rights) yang mendapat perlindungan secara otomatis oleh negara. Jadi, tanpa harus melalui prosedur pendaftaran atau permintaan, hak ini akan langsung diberikan oleh negara. Kebijakan demikian semata-mata demi kepentingan praktis, yaitu agar memudahkan setiap pencipta mendapatkan perlindungan, mengingat sedemikian banyak ciptaan dihasilkan setiap hari, baik di bidang ilmu pengetahuan, seni, maupun sastra. Pendaftaran sebenarnya lebih diperlukan untuk menjamin perlindungan dan mempermudah proses pembuktian, khususnya tatkala terjadi sengketa hak cipta di kemudian hari.
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada kasus plagiarisme yang dibawa sampai ke tingkat pengadilan. Padahal, apabila dicermati ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta, perbuatan plagiarisme termasuk ke dalam kriteria tindak pidana yang diancamkan. Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan delapan pasal perbuatan-perbuatan yang dapat dijerat dengan ancaman pidana. Semua perbuatan tadi dikategorikan sebagai delik aduan. Dari pasal-pasal tersebut, tidak ada satupun yang menyebutkan istiah plagiarisme dan otoplagiarisme.
Justru Pasal 44 Undang-Undang Hak Cipta membuat rumusan secara negatif dengan kata-kata sebagai berikut: “Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: (a) pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta; (b) dst…” Rumusan Pasal 44 huruf a ini perlu dicermati. Dari bunyi ketentuan tersebut jelas, bahwa syarat mencantumkan sumber adalah sebuah syarat mutlak untuk dapat terbebas dari tindak pelanggaran. Artinya, jika tidak dicantumkan sumbernya, pasal ini otomatis mengkategorikan tindakan itu sebagai pelanggaran hak cipta, sekalipun dalam sanksi pidana tidak disebut-sebut secara eksplisit tentang ancaman sanksi jika terjadi pelanggaran atas Pasal 44 Undang-Undang Hak Cipta.
Seandainya pun dicantumkan sumbernya, masih tetap terbuka kemungkinan pengambilan itu terancam sebagai pelanggaran hak cipta, yakni apabila pengambilan tersebut ternyata sampai merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Pembatasan ini berdimensi kualitatif. Pembentuk undang-undang rupanya menyadari bahwa pembatasan yang kuantitatif memang sulit ditetapkan. Penjelasan Pasal 44 ayat (1) menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘sebagian yang substansial’ adalah bagian yang paling penting dan khas yang menjadi ciri dari ciptaan.” Selanjutnya dijelaskan, “Yang dimaksud ‘kepentingan yang wajar dari pencipta dan pemegang hak cipta’ adalah kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.”
Pembatasan kualitatif dengan kata-kata “sebagian yang substansial” ini penting untuk diperhatikan. Artinya, tidak ada lagi alasan untuk melakukan pengambilan hak cipta orang lain dengan dalih “hanya satu atau dua kalimat atau paragraf”. Sepanjang kalimat atau paragraf itu substansial dan dilakukan tanpa pencantuman sumbernya, maka pelanggaran hak cipta sudah layak disematkan untuk perbuatan tersebut.
Sistem hukum positif Indonesia tidak hanya menyediakan satu alternatif tunggal dalam penyelesaian sengketa hak cipta. Selain mekanisme pidana, gugatan secara perdata juga dimungkinkan dengan dalih telah terjadi perbuatan melawan hukum perdata (onrechtmatige daad). Pihak penggugat mengajukan gugatannya kepada pengadilan negeri setempat. Ketika kasus ini disidangkan di pengadilan, hakim pun tetap terikat untuk menawarkan perdamaian kepada para pihak.
Terlepas dari mekanisme penyelesaian sengketa secara formal seperti diatur dalam undang-undang, mekanisme informal atau institusional biasanya justru lebih banyak digunakan. Jika yang melakukan pelanggaran ini adalah seorang dosen, maka sanksi yang diberikan biasanya juga dikaitkan dengan status kedosenannya. Institusi tempat dosen itu bernaung juga dapat membentuk majelis kode etik guna memproses pelanggaran demikian.
Undang-Undang Hak Cipta sama sekali tidak menyinggung perihal otoplagiarisme. Dapat dimaknai melalu argumentum a-contrario, bahwa karena tidak diatur maka perilaku otoplagiarisme bukan dipandang sebagai pelanggaran hak cipta. Otoplagiarisme memang lebih tepat dikonstruksikan sebagai pelanggaran etika. Meskipun demikian, ia masih dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum perjanjian apabila misalnya seorang penulis mengajukan karya tulisannya kepada sebuah penerbit, padahal dalam perjanjian antara penulis dan penerbit itu sudah dipersyaratkan bahwa tulisan yang diajukan harus orisinal, dalam arti belum pernah dipublikasikan di media manapun. Senyampang tulisan yang tidak orisinal itu jadi diterbitkan tanpa ada pemberitahuan atau keterangan apapun dari penulisnya, maka tindakan otoplagiarisme sudah terjadi. Jika penerbit tersebut sampai menderita kerugian akibat ketidakjujuran penulis itu, maka perilaku otoplagiarisme tadi dapat menjadi dalih gugatan atas dasar cedera janji (wanprestasi).
DAFTAR PUSTAKA
Pramono, Widyo. 2015. Plagiarisme dalam Perspektif Etika dan Hukum https://www.medcom.id/pilar/kolom/5b2lZr4K-plagiarisme-dalam-perspektif-etika-dan-hukum diakses 8 Februari 2021 pukul 08.20
Shidarta. 2015. Plagiarisme Pelanggaran Hak Cipta https://business-law.binus.ac.id/2015/04/01/plagiarisme-pelanggaran-hak-cipta-bagian-3-dari-3-tulisan/ diakses 8 Februari 2021 pukul 08.21
Komentar
Posting Komentar